Jumat, 27 Februari 2009

Wajah suram kehidupan Siti

Pagi itu sekitar pukul setengah enam seperti biasa Siti mencuci pakaian adiknya sebelum pergi ke pabrik untuk bekerja. Setelah beres mencuci dia menyiapkan sarapan buat adik-adiknya yang masih tidur pulas diatas kursi dan satu algi di lantai beralas kain spanduk yang sebagian dijadikannya selimut. Pekerjaan yang telah menjadi kebiasaan setiap hari ia lakukan, tak sedikitpun merasa lelah ataupun mengeluh karena sudah merasa menjadi suatu tanggung jawab terhadap adik-adiknya yang masih duduk belajar dibangku SD dan sedikit meringankan orang tuanya dalam pekerjaan.
Setelah ia menghangatkan nasi sisa makan malam tadi, Siti menggoreng kerupuk yang ia temukan diplastik menggantung diatas kompor. Tak lama kurang lebih dua puluh menit dari menghangatkan nasi dan gorengan kerupuk semuanya siap dihidangkan, ia pun mulai membangunkan adik-adiknya membawanya ke air untuk berwudlu dan shalat. Setelah semuanya siap, makan pagi pun digelar, semua anggota keluarga makan dengan lahap walaupun dengan seadanya hanya kerupuk dan sambal terasi.
Siti merupakan sebuah gambaran wajah keluarga sederhana tetanggaku, mereka tak pernah mengeluh walaupun terkadang mereka terlihat hidup dengan keadaan yang sederhana dan seadanya. Kadang terbesit di benak membandingkan dengan kehidupanku yang mungkin secara materi bisa diukur jauh dibawahku. Tapi memang ternyata semua itu tidak menjamin seseorang merasa hidup berkecukupan. Sikap pandangan kita lah yang mungkin bisa merubah persepsi akan kehidupan yang bisa menjadi kacamata dalam penilaian terhadap kehidupan ini.
Kalau memang andai saja Siti merasa mempunyai sebuah perasaan dalam hatinya bahwa dia berada dalam kehidupan yang membanding-bandingkan dengan orang lain tentunya semua akan terasa berat untuk dilalui. Tapi, semua itu Siti terima secara ikhlas, lapang dada dan menerima terhadap apa yang Allah gariskan kepadanya. Seolah menunjukan bahwa ia tetap mencoba survive dalam kehidupan ini ia pun tetap terus berusaha dan bekerja keras karena ia pun masih mempunyai cita-cita dan harapan yang baik buat keluarga dan adik-adiknya yang masih sekolah.
Setelah selesai sarapan ia pun mulai bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat kerja, diambilnya sebotol air minum teh dan memasukannya kedalam tas bercampur dengan kain mukena yang akan ia bawa. Setiap hari Siti pergi kesebuah pabrik untuk bekerja sampai sore bahkan terkadang sampai pulang menjelang magrib. Sebuah kebiasaan yang telah ia lakukan selama 3 tahun setelah ia keluar dari bangku SD karena tidak mampu melanjutkannya dengan alasan biaya.
Secara usia memang Siti belum diperbolehkan untuk bekerja, tetapi memang himpitan ekonomi yang tidak ada solusi dan mengharuskannya ia bekerja. Walaupun dengan gaji yang seadanya sepuluh ribu perhari dan tak menentu karena terkadang pabrik yang hampir tutup itu gulung tikar tak mampu menutupi biaya produksi dengan alasan harga minyak melonjak sehingga ia tak mampu menggaji karyawannya. Siti diantara karyawan yang tetap bertahan apa adanya masih dengan sejuta harapan semuanya akan kembali normal seperti semula dan bertahan dipabrik itu.

Tidak ada komentar: