Minggu, 14 Desember 2008

Friedrich Nietzsche (1844-1900): Tuhan telah Mati

Bagi Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), yang umumnya dipandang sebagai pelopor eksistensialisme bersama Kierkegaard, penyelesaian religius Kierkegaard untuk persoalan ketidak berartian kehidupan modern sangat tidak bias diterima. Pertama-tama karena solusi Kierkegaard ini menampilkan manusia sebagai individu yang lemah, tanpa daya, bahkan pengecut. Solusi ini menelanjangi kekuatan manusia, sehingga dalam keputusasaan, hilang totalnya keyakinan Anda menyeret Anda ke dalam keyakinan absolute pada Tuhan untuk menyelesaikan permasalahan hidup.
Nietzsche mendapati solusi religius Kierkegaard tidaklah bisa diterima karena suatu alas an yang jauh lebih mendasar. Kierkegaard bisa dipandang sebagai unggulan Kristiani ortodok masa lalu, yang berusaha memecahkan masalah manusia modern dengan memutar kembalinya waktu pada absolutisme Kristen kuno yang memerlukan pemasrahan diri total kepada Tuhan. Namun kini hal tersebut mustahil, kata Nietzsche, karena Tuhan sudah mati. Konsep kematian Tuhan ini mungkin yang paling dikenal di antara berbagai sumbangan Nietzsche yang berpengaruh dalam bersifat. Dalam The Joyful Wisdom (1882) Nietzsche menampilkan kisah mengejutkan mengenai orang gila yang pada suatu pagi yang cerah menyalakan lentera dan berlari menuju pasar mencari Tuhan dan kemudian mengumumkan pada khalayak ramai bahwa Tuhan telah mati.
Kita telah membunuh-Nya-kalian dan aku! Kita semua ini pembunuh…kemana sekarang kita melangkah?...tidakkah kita sekarang mengembara dalam kehampaan tanpa akhir? Tidakkah ruang hampa terhembus pada diri kita? Tidakkah lebih dingin? Tidakkah malam kemudian tiba, lebih gelap?
Dengan konsep kematian Tuhan, Nietzsche tidak bermaksud mengatakan bahwa Tuhan, yang dimaknai sebagai zat yang abadi, bisa mati; dia menunjukan bahwa tentu saja hal itu tidak logis. Seperti dikemukakan Parmenides sebagai yang tak berubah, yakni bahwa yang abadi tidak menjadi makhluk. Dengan matinya Tuhan, Nietzsche bermaksud mengatakan matinya keyakinan kita pada Tuhan. Yang mati adalah keyakinan kita pada Tuhan; hal ini menciptakan berbagai luka, termasuk orang-orang biadab yang memperparah keadaan seperti yang diawali David Hume dan diteruskan pengganti-penggantinya.
Tetapi jika telah kehilangan keyakinan pada Tuhan, tidakkah kita kehilangan landasan untuk kebenaran dan moralitas? Bahkan, tidakkah Descartes, seorang rasionalis besar, harus kembali kepada Tuhan untuk menjamin bahwa kejelasan dan kejernihan pemikirannya benar, dan juga menjadikan-Nya landasan segala kebenaran? Nietzsche terkenal atas pernyataannya bahwa krisis dunia modern terjadi dalam lunturnya keyakinan kita pada Tuhan, bahwa kita telah kehilangan landasan kebenaran dan nilai kita. Namun begitu, Nietzsche berkata, meskipun manusia telah kehilangan keyakinan pada Tuhan, ini memungkinkan dia untuk menghilangkan ketergantungan yang kekanak-kanakan kepada Tuhan.
Manusia sekarang harus menemukan sendiri keberanian untuk mencari Tuhan dalam sebuah dunia tanpa Tuhan. Yang paling dibutuhkan peradaban saat ini adalah mengembangkan sebuah tipe baru manusia, yaitu manusia super yang keras, kuat, dan pemberani, mandiri secara intelektual dan moral. Orang-orang super inilah yang akan mendobrak penghalang batu di mana hokum moral Kristen-Yahudi zaman dulu dipahat. Hokum tak lagi memiliki legitimasi, kekuasaan eksternal pemerintahan, system ekonomi, dan dunia ilmu pengetahuan secara intelektulitas, dan manusia perorangan hanya bisa turun pada kekuasaan internal atas diri. Logikanya, para eksistensialis kembali pada diri manusia sebagai pusat filsafat yang sejati dan sebagai satu-satunya kekuasaan yang legitimasinya kuat.

Soren Kierkegaard (1813-1855): Eksistensialisme

Awal kegelisahan meliputi karya-karya Soren Kierkegaard (1813-1855), salah sati pelopor eksistensialisme, yang tidak lama hidup di Denmark pada pertengahan abad XIX:
Aku menempelkan jariku pada eksistensiku-tidak ada baunya. Dimanakah aku? Benda apa yang dinamakan dunia ini? Siapa yang memancingku pada benda ini, dan kini meninggalkanku di sini? Siapakah aku? Bagaimana aku bias berada di dunia? Mengapa tidak dibicarakan denganku dulu?
Bagi Kierkegaard, ketidakbermaknaan eksistensiku menjadikanku gelisah dan putus asa, hampa dan depresi. Kehidupan manusia modern terletak pada kegelisahan dan tak seorangpun yang tidak gelisah pada eksistensinya.
Kehidupan tidak dirancang untuk kesenangan, kata Kierkegaard. Waktu yang diberikan kepada kita untuk eksistensi kita, kita gunakan untuk mengejar kesenangan dan menghindari kegelisahan dari tekanan yang mendalam yakni keputusasaan. Namun kita tidak bisa melarikan diri-seberapa pun menyenangkan dan nyaman hidup ini kita buat dan bersembunyi dari kenyataan. Pada kenyataannya, Kierkegaard bersikeras bahwa kehidupan kita tetap berada dalam kegelisahan dan keputusasaan. Ini merupakan kondisi manusia yang universal. Kita menderita meskipun kita tahu akan hal itu, dan bahkan ketika tidak ada yang perlu ditakutkan, tidak ada yang menjadi objek kegelisahan. Ini karena dalam hati kecil kita, ujar Kierkegaard, kegelisahan sama sekali tidak objektif, kegelisahan itu bersifat subjektif. Kegelisahan adalah ketakutan universal pada suatu yang tidak ada, ketakutan pada ketiadaan atas eksistensi manusia.
Pada salah satu karya awalnya, Either/Or, A Fragment of Life (1843), Kierkegaard menceritakan seorang pemuda yang hidup demi kesenangan. Meskipun dia mengalami berbagai bentuk kesenangan, sensual dan estetik, yang bias dia dapatkan, dia tetap jatuh dalam depresi. Dia lantas berfikir dan memutuskan untuk berbuat sesuatu bagi dirinya, berhenti hidup dalam hedonism dan hidup untuk kewajiban serta tanggung jawab. Dia mengejarkariernya, mencari teman, segera menikah dan berkeluarga, serta mengejar status social dalam masyarakat. Namun kemudian depresi yang sudah dilupakannya kembali, “lebih buruk dari sebelumnya”.
Orang ini telah berbuat sesuatu untuk dirinya, kata Kierkegaard, tetapi dia merasa aing pada dirinya sendiri. Dia tidak tahu bahwa cara untuk menghentikan keputusasaan adalah memilih keputusasaan, menenggelamkan diri dalam keputusasaan sehingga Anda menghentikan kepuasan dan kesenangan, kehilangan segala komitmen pada keluarga, teman, masyarakat, kehilangan pemikiran dan segala keyakinan pada kebenaran ilmu pengetahuan dan filsafat, serta segala prinsip moral. Ketika segala hal tadi hilang tak bersisa, Anda akan berada dalam krisis total, berada di bibir jurang, dan Anda akan bersiap dan yakin kepada Tuhan, Anda akan memilih Tuhan, dan yakin kepada-Nya. Bagi Kierkegaard, hanya keyakinan kepada Tuhan yang bias menghapuskan ketidakberartian eksistensi Anda; hanya kebangkitan kembali agama, dan melepaskan akal, yang bias menghentikan rasa gelisah dan ketidakberdayaan bagi individu dalam dunia modern.

Kamis, 30 Oktober 2008

Auguste Comte (1798 – 1857): Positivisme

Auguste Comte, ia lahir tahun 1798 di kota Monpellier Perancis Selatan, berasal dari kelas menengah, anak dari orang tua yang menjadi pegawai kerajaan dan penganut agama Katholik yang saleh. Ia menikahi Caroline Massin, seorang bekas pelacur, yang nampaknya kemudian disesali, karena ia pernah menyatakan, bahwa perkawinan itu adalah salah-satunya kesalahan besar dalam hidupnya. Selama dua tahun, dari 1814 hinggga 1816, Comte belajar di Sekolah Politeknik di Paris.
Sejak kecil Comte telah menunjukan diri sebagai seorang yang berfikir bebas, mempunyai kemampuan berfikir, penganut republik yang militant skeptis terhadap ajaran-ajaran agama Katolik, dan kritis terhadap mahagurunya. Pemikiran-pemikiran Comte banyak dipengaruhi pemikiran gurunya Saint Simon. Kemudian dipengaruhi oleh Revolusi Perancis. Pemikiran Comte muncul dilatar belakangi revolusi Perancis. Ia menilai bahwa revolusi terjadi akibat pencerahan yang terjadi pada saat itu, yang menimbulkan anarkisme.
Comte merupakan bapak sosiologi yang pertama-tama memberi nama pada ilmu tersebut (yaitu dari kata socius dan logos). Walaupun dia tidak menguraikan secara rinci masalah-masalah apa yang menjadi obyek sosiologi, tetapi dia mempunyai anggapan bahwa sosiologi terdiri dari dua bagian pokok, yaitu social statistics dan social dynamics. Konsepsi tersebut merupakan pembagian dari isi sosiologi yang sifatnya pokok sekali. Sebagai social statistics sosiologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbal-balik antara lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sedangkan social dynamics meneropong bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang dan mengalami perkembangan sepanjang masa.
Hukum Evolusi Tiga Tahap
Dalam memahami krisis, Comte berpendapat harus melalui pedoman-pedoman berfikir ilmiah. Ia juga banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial Encyclopedist Perancis, aliran reaksioner dan sosialistik. Ia kemudian dikenal sebagai pencetus persfektif pengetahuan positivisme tau filsafat positivistik, sebagai bentuk perlawanan terhadap filsafat dan cara berfikir yang melandasi para filosof pencerahan. Comte berada dalam posisi yang sejalan dengan gerakan antirevolusi kaum Katolik – terutama dari de Bonald dan de Maistre.
Perkembangan tersebut pada hakikatnya melewati tiga tahap, sesuai dengan tahap-tahap perkembangan fikiran manusia yaitu:
Tahap Teologis, ialah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada diatas manusia. Cara pemikiran tersebut tidak dapat dipakai dalam ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan bertujuan untuk mencari sebab serta akibat dari gejala-gejala.
Tahap Metafisis, pada tahap ini manusia masih percaya bahwa gejala-gejala di dunia ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di atas manusia. Manusia belum berusaha untuk mencari sebab dan akibat gejala-gejala tersebut.
Tahap Positif, merupakan tahap dimana manusiatelah sanggupuntuk berfikir secara ilmiah. Pada tahap ini berkembanglah ilmu pengetahuan.
Menurut Auguste Comte, masyarakat harus diteliti atas dasar fakta-fakta obyektifdan dia juga menekankan pentingnya penelitian-penelitian perbandingan antara pelbagai masyarakat yang berlainan.
Hasil karya Auguste Comte yang terutama adalah:
The scientific labors necessary for the reorganization of society (1822)
Thepositive philoshopy (6 jilid 1830 – 1840)
Subjective Synthesis (1820 – 1903)

Rabu, 22 Oktober 2008

Anthony Giddens : Agensi Strukturasi

Teori agensi strukturasi Anthony Giddens merupakan sebuah rekonseptualisasi atas konsep-konsep tindakan, struktur dan sistem dengan tujuan mengintegrasikannnya menjadi pendekatan teoritis. Integrasi dalam proses berlangsungnya agensi strukturasi merupakan sebuah dualitas dalam praktik sosial secara terus menerus. Oleh karena itu, muncul permasalahan yang menarik untuk dibahas, yaitu bagaimana konsep teori agensi strukturasi Anthony Giddens?, serta bagaimana analisis integrasi dari agensi strukturasi tersebut?.
Giddens melihat bahwa ilmu-ilmu sosial dijajah oleh gagasan dualisme (dualism) pelaku versus struktur. Ia memproklamirkan hubungan keduanya sebagai relasi dualitas (duality): ‘tindakan dan struktur saling mengandaikan “. Agen adalah orang-orang yang konkret dalam “arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia “. Adapun struktur bukanlah nama bagi totalitas gejala, bukan kode tersembunyi dalam strukturalisme, bukan pula kerangka keterkaitan bagian-bagian dari suatu totalitas seperti dalam fungsionalisme. Struktur adalah aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktek sosial. Dualitas struktur dan pelaku terletak dalam proses dimana struktur sosial merupakan hasil (out come) dan sekaligus sarana (medium) praktek sosial. Pokok pikiran sentral ini yang menjadi poros pemikiran Giddens dan menamakan teorinya sebagai ‘strukturasi’.
Integrasi agensi strukturasi yaitu hubungan antara pelaku dan struktur berupa relasi dualitas, bukan dualisme sebagaimana pokok pikiran Giddens tersebut terjadi dalam praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu. Giddens membedakan tiga dimensi internal pelaku dalam praktik social integrasi agensi strukturasi, yyaitu mitivasi tak sadar (unconsiousness motives) sebagai motivasi tak sadar menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tapi bukan tindakan itu sendiri. Kesadaran praktis (practical consiousness) yakni bagaimana bertindak dalam kehidupan sosial ini musti tidak terucapkan dan kesadaran diskursif (discursive consiousness) yakni taraf rasionalisasi tindakan yang tidak hanya ia simpan dalam pikiran tetapi juga bias ia kemukakan dengan bahasa.>>