Jumat, 27 Februari 2009

Malangbong Ku Malang..!!

Malangbong.. sebuah kata yang mungkin sudah tidak asing lagi ditelingaku. Sejenak dalam benak teringat, terngiang terbayang menerawang masa-masa indah dulu ketika hidup di perkampungan waktu kecil. Bermain bersama teman-temanku yang kini mereka sudah tidak ada lagi disampingku.. sebagian mereka berdagang, merantau ke luar pulau, pergi ke kota, ada juga yang melanjutkan sekolah di perguruan tinggi walaupun tidak sampai hitungan lima jari.
Temanku Badrudin asli putra Malangbong yang lahir sekampung dengan ku tak sengaja bertemu dengannya di pangkalan elf. Aku hampiri dia karena dengan tak sengaja aku melihatnya dari kejauhan. Aku tak pernah lupa wajahnya walaupun sekilas dia jauh terlihat di kejauhan. Lelaki bertubuh kering, rambut kusut, dipundaknya tas lusuh sambil duduk dikursi bambo yang penuh dengan asap hitam dekil menunggu tumpangan datang. Sesekali dia menghisap rokonya dalam-dalam sambil menatap sengat panasnya cuaca terminal Malangbong di siang bolong. Katanya dia bekerja di kota Bandung dan pulang ke kampung halamannya tidak menentu.
Mungkin tenggorokannya terlalu kering setelah berjalan dari rumahnya sampai ia berkeringat terlihat di kaos oblongnya yang agak basah dan sesekali melapnya dengan peci hitamnya. Sambil menanti mobil elf yang akan ia tumpangi penuh dengan penumpang dia berbincang dengan ku banyak sekali.
Kami suka terbayang indahnya kampunng kita waktu masih kecil. Tidak dapat tergambarkan lagi indahnya waktu dulu. Mungkin anak-anak modern sekarang tak akan pernah mejumpainya apa yang kami pernah jalani dulu. Permainan-permainan yang begitu unik, asyik dan sederhana. Kesederhanaan kampung kami membuat kami hidup dalam suasana damai, tenteram, apa adanya tanpa mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu. Beda jauh dengan anak-anak sekarang yang modern, canggih namun lupa agama, lupa akan sesama, lupa keadaan.
Tidak tau apa yang salah dari pembangunan ini, padahal manusia makin mempunyai alat canggih, makin gampang mendapatkan informasi, pembaharuan ilmu terus-menerus. Ada sekelumit pertanyaan terusik dipikiran kami waktu itu ketika berfikir pada suatu pertanyaan “mengapa kami selalu merindukan masa dulu?” sebuah masa dimana kami merasa hidup tenang.. Lantas kenapa dengan hari ini? Apakah ada yang salah..? kami terdiam sejenak mencari jawaban.. atau mungkin memang sama saja hanya karena kami mungkin waktu dulu belum bisa berfikir hal itu.Aku tidak merasa puas dengan teka-teki ini, tak ada jawaban yang pasti.
Tak terasa waktu saat itu berlalu begitu cepatnya sampai menghabiskan hampir setengah bungkus rokok kretek. Obrolan kami dari tadinya yang begitu seru terhenti dengan pertanyaan kami tadi. Membuat kami terhenti dari suasana masa damai lalu yang begitu membayangi. Sinar matahari semakin panas, asap knalpot pun sudah terlalu membuatku pusing, suasana yang tidak nyaman di sebuah tempat yang tidak indah buat mengenang masa lalu. Ah mungkin nanti saja aku lanjutkan perbincangan ini..
Kehidupan yang begitu tentram, kehidupan yang begitu agamis bahkan terkenal dengan telah “kota santri” yang dulu melekat jelas kini hanya senyum simpul. Masyarakat yang berbudaya sunda menyejukan tata tutur kata berbudi bahasa tak kutemui. Indahnya alam.. masyarakat yang nyantri, berbudaya dan bersahaja nanti ku ingat lagi.. kapan..kapan kalau aku bertemu temanku lagi.
Temanku Badrudin yang sudah merasa bosan, mencoba mengangkatkan kakinya menaiki mobil elf yang ia akan ia tumpangi membawanya ke kota. Dengan harapan, suatu saat ketika ia pulang keindahan kampung halaman akan mengundangnya, mambawa ia merasa tinggal dirumah sendiri yang sejak dulu tertoreh masa lalu indahnya.
Saya mungkin tak tahu apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata tersebut. Mungkin bisa kenangan, harapan, penantian.. apapun itu..!!

Wajah suram kehidupan Siti

Pagi itu sekitar pukul setengah enam seperti biasa Siti mencuci pakaian adiknya sebelum pergi ke pabrik untuk bekerja. Setelah beres mencuci dia menyiapkan sarapan buat adik-adiknya yang masih tidur pulas diatas kursi dan satu algi di lantai beralas kain spanduk yang sebagian dijadikannya selimut. Pekerjaan yang telah menjadi kebiasaan setiap hari ia lakukan, tak sedikitpun merasa lelah ataupun mengeluh karena sudah merasa menjadi suatu tanggung jawab terhadap adik-adiknya yang masih duduk belajar dibangku SD dan sedikit meringankan orang tuanya dalam pekerjaan.
Setelah ia menghangatkan nasi sisa makan malam tadi, Siti menggoreng kerupuk yang ia temukan diplastik menggantung diatas kompor. Tak lama kurang lebih dua puluh menit dari menghangatkan nasi dan gorengan kerupuk semuanya siap dihidangkan, ia pun mulai membangunkan adik-adiknya membawanya ke air untuk berwudlu dan shalat. Setelah semuanya siap, makan pagi pun digelar, semua anggota keluarga makan dengan lahap walaupun dengan seadanya hanya kerupuk dan sambal terasi.
Siti merupakan sebuah gambaran wajah keluarga sederhana tetanggaku, mereka tak pernah mengeluh walaupun terkadang mereka terlihat hidup dengan keadaan yang sederhana dan seadanya. Kadang terbesit di benak membandingkan dengan kehidupanku yang mungkin secara materi bisa diukur jauh dibawahku. Tapi memang ternyata semua itu tidak menjamin seseorang merasa hidup berkecukupan. Sikap pandangan kita lah yang mungkin bisa merubah persepsi akan kehidupan yang bisa menjadi kacamata dalam penilaian terhadap kehidupan ini.
Kalau memang andai saja Siti merasa mempunyai sebuah perasaan dalam hatinya bahwa dia berada dalam kehidupan yang membanding-bandingkan dengan orang lain tentunya semua akan terasa berat untuk dilalui. Tapi, semua itu Siti terima secara ikhlas, lapang dada dan menerima terhadap apa yang Allah gariskan kepadanya. Seolah menunjukan bahwa ia tetap mencoba survive dalam kehidupan ini ia pun tetap terus berusaha dan bekerja keras karena ia pun masih mempunyai cita-cita dan harapan yang baik buat keluarga dan adik-adiknya yang masih sekolah.
Setelah selesai sarapan ia pun mulai bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat kerja, diambilnya sebotol air minum teh dan memasukannya kedalam tas bercampur dengan kain mukena yang akan ia bawa. Setiap hari Siti pergi kesebuah pabrik untuk bekerja sampai sore bahkan terkadang sampai pulang menjelang magrib. Sebuah kebiasaan yang telah ia lakukan selama 3 tahun setelah ia keluar dari bangku SD karena tidak mampu melanjutkannya dengan alasan biaya.
Secara usia memang Siti belum diperbolehkan untuk bekerja, tetapi memang himpitan ekonomi yang tidak ada solusi dan mengharuskannya ia bekerja. Walaupun dengan gaji yang seadanya sepuluh ribu perhari dan tak menentu karena terkadang pabrik yang hampir tutup itu gulung tikar tak mampu menutupi biaya produksi dengan alasan harga minyak melonjak sehingga ia tak mampu menggaji karyawannya. Siti diantara karyawan yang tetap bertahan apa adanya masih dengan sejuta harapan semuanya akan kembali normal seperti semula dan bertahan dipabrik itu.

Tolong perhatikan pembangunan Kecamatan Malangbong

Malangbong merupakan sebuah Kecamatan yang sudah dibilang cukup berumur, bahkan mungkin lebih tua dari ibu kotanya sendiri. Merupakan salah satu ikon kota Garut karena secara geografis memang berada dikawasan perlintasan jalan provinsi arah Jakarta - Bandung menuju Tasikmalaya selanjutnya ke Jawa Tengah yang secara otomatis menjadi muka terdepan wilayah timur yang sudah seharusnya menggambarkan Kota Garut yang Indah, Tertib, Aman dan Nyaman. Malangbong sebagai Kecamatan wilayah paling timur Kabupaten Garut berbatasan dengan Kabupaten Sumedang disebelah utara dan Kabupaten Tasik disebelah selatan yang mungkin bisa disebut “segitiga emas”. Malangbong yang nota bene mempunyai wilayah terluas kedua setelah Garut kota yaitu 23 Desa dengan jumlah penduduk hak pilih kurang lebih 75 ribu jiwa.
Tapi ironisnya, bisa dilihat dilapangan harapan Malangbong menjadi “segitiga emas” itu masih hanya sekedar angan-angan yang belum terealisasi dan masih terlalu jauh untuk di perjuangkan. Saya sebagai warga Malangbong merasa mengeluh, dan bosan terhadap apa yang terjadi di Malangbong ini yang dari tahun-ketahun merasa pembangunan Kecamatan Malangbong kurang mendapat perhatian terutama pembangunan saranan terminal yang tidak memadai, puskesmas yang tidak layak, pasar yang tidak memadai, pusat pemerintahan kecamatan yang apa adanya.
Sebagai gambaran, bis-bis yang melintasi terminal Malangbong tidak bisa masuk ke terminal sehingga menaikan penumpang dan menurunkannya di lintasan jalan raya yang tentunya sering membuat kemacetan dan membuat penumpang merasa tidak nyaman karena harus tergesa-gesa. Belum lagi pangkalan ojek yang nyaris tidak ada pembatas sehingga membuat riskan keselamatan dan memperburuk keindahan wajah kota. Tingkat kecelakaan di lintasan wilayah Kecamatan Malangbong sudah sangat tinggi sehingga mengharuskan Kecamatan Malangbong mempunyai sarana kesehatan yang memadai untuk antisipasi juga sebagai sarana kesehatan masyarakat. Karena pada kenyataannya para korban kecelakaan yang harus secepatnya mendapat pertolongan ataupun warga Malangbong yang harus berobat harus dirujuk ke kota Garut, ke Tasikmalaya atau ke Bandung yang tentunya jaraknya menghabiskan waktu sekitar dua jam.
Masalah ekonomi rakyat masyarakat Malangbong tentunya bertumpu pada hasil bumi yang mayoritas adalah bertani. Hal ini mengaharuskan masyarakat Malangbong mempunyai sebuah pasar tradisional yang cukup luas menampung segala hasil bumi sehingga masyarakat Malangbong merasa sejahtera dan merata. Sebagaimana wilayah Malangbong merupakan wilayah perlintasan, saya mengharapkan Malangbong menjadi station persinggahan, peristirahatan dengan menyuguhkan hasil bumi dan jajanan buah tangan khas Malangbong dan kota Garut.
Saya berharap kepada para pemegang kepentingan dan pembuat keputusan juga pemerintah daerah Kabupaten Garut Aceng Fikry dan Dicky Candra yang baru ini memperhatikan pembangunan Kecamatan Malangbong ini atau mungkin sedikitnya untuk meninjau dan mengkaji terlebih dahulu apa yang terjadi dilapangan. Saya yakin kalau pembangunan Kecamatan Malangbong ini tidak diperhatikan akan semakin buruk tak terkendali. Dan sebaliknya, pembangunan Malangbong yang baik akan membuat wajah Kota Garut yang lebih Indah, Tertib, Aman dan Nyaman.